BAHASA INDONESIA

Kamis, 30 Mei 2013

REVIEW SASTRA ANAK



































Noam Chomsky, yang seorang linguis ‘penemu’ teori tatabahasa generatif transformasi itu, berkeyakinan bahwa dalam diri anak ter­dapat semacam “alat” yang dipergunakan sebagai sarana memperoleh bahasa. Sejak dilahirkan anak sudah memiliki pembawaan, bakat (innate capacity), yang berupa Language Acquisition Devices (LAD, alat pemerolehan bahasa) untuk memperoleh bahasa secara alami. Adanya innate capacity atau LAD tersebut menurut Chomsky dapat dipergunakan untuk menerangkan apa yang terjadi di dalam diri anak yang secara ajaib dapat belajar bahasa secara cepat. Namun demikian, semua orang sependapat bahwa dalam proses akui­sisi bahasa anak juga melewati tahap-tahap tertentu untuk “belajar” bahasa karena kemampuan sensori-motor yang masih terbatas. Pola bahasa, kata-kata, pertama anak yang dapat disuarakan adalah berupa bentuk-bentuk perulan­gan silabik vokal dan konsonan untuk akhirnya menjadi kata-kata tunggal. Misalnya, ucapan “ma-ma, ba-ba, pa-pa” yang pada umumnya berakhir dengan vokal dan kata-kata itu familiar yang sering didengarnya baik dari orang maupun benda atau binatang. Setelah berumur 18 bulan atau 2 tahun anak mulai mampu mempergunakan dua-tiga kata sebagai “kalimat” untuk mengekspresikan maksud dan tindakan, seperti “mama maem, dada papa, dada mama”. Dalam usia tiga tahun anak dapat memahami bahasa secara luar biasa. Proses internalisasi input struktur yang semakin kompleks dan kosakata yang semakin luas itu terus berlangsung sampai anak masuk sekolah, dan pada saat ini anak sudah ‘menguasai” bahasanya. Di sekolah anak tidak hanya belajar bagaimana mengatakan, tetapi juga belajar apa yang tidak boleh dikatakan dalam kaitannya dengan fungsi sosial bahasa (Brown, 2000:21). Maka, sekali lagi, bagaimana kita akan menjelaskan “perjalanan fantastik” ’fantastic jour­ney’ anak dalam proses pemerolehan bahasa yang begitu cepat itu. Hal itulah yang memicu lahirnya teori-teori akuisisi bahasa pada anak. Dalam proses akuisisi bahasa secara alami, anak memperoleh bahasa dengan menirukan, melihat dan menirukan orang berbicara, namun sebena­rnya anak tidak semata-mata sebagai peniru belaka. Ada bukti-bukti yang kuat bahwa anak jauh lebih banyak memahami bahasa daripada yang dapat diproduksi, dan hal itu sungguh di luar dugaan. (Hal ini pun juga terjadi dan berimbas pada dewasa: kita lebih banyak membaca daripada menulis). Dalam usia dua tahun anak sudah mampu “menemukan” struktur bahasa dan hal itu berlangsung terus-menerus dalam usia selanjutnya. Anak tampaknya mengkonstruksikan bahasa sistemnya sendiri untuk membuat diri paham. Di dalam diri anak terdapat hubungan yang erat antara perkembangan pemahaman secara kognitif dan kemampuan berbahasa sebagaimana anak mempergunakan bahasa sebagai sarana untuk mengorganisasikan dan menerangkan dunia.

Apa implikasi pemahaman terhadap proses pemerolehan bahasa anak tersebut bagi pemilihan buku bacaan sastra? Satu hal yang pasti adalah bahwa pemilihan bacaan itu mesti didasarkan pada materi yang dapat dipahami anak, yang dituliskan dengan bahasa yang sederhana sehingga dapat dibaca dan dipahami anak, dengan mempertimbangkan keserdahanaan (atau komplek­sitas) kosakata dan struktur namun, sekaligus juga berfungsi meningkatkan kekayaan bahasa dan kemampuan berbahasa anak. Dalam rangka pemahaman dan atau apresiasi suatu bacaan, ada beberapa hal yang terlibatkan, yaitu aspek intelektual, emosional, kemampuan berbahasa anak, dan struktur organisasi isi bacaan. Keempat hal tersebut harus mendapat perhatian dalam rangka seleksi bacaan anak. Oleh karena itu, dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu untuk menilai suatu bacaan yang akan dipilih. Misalnya: Apakah secara intelektual anak dapat memahami materi bacaan cerita itu?; Apakah secara emosional anak sudah siap untuk menerima isi bacaan itu?; Apakah secara kebahasaan anak sudah mampu memahami isi bacaan itu?; Apakah struktur organisasi isi cerita itu sudah dapat dijangkau oleh anak?; dan lain-lain yang relevan. Sebagai bahan pertimbangan di bawah ini dikemukakan beberapa karak­teristik anak pada kelompok usia tertentu sebagai salah satu kriteria pemilihan buku bacaan sastra anak (Brady, 1991:35–37). Namun demikian, kehati-ha­tian dan sikap kritis kita harus tetap diutamakan karena harus diakui adanya perbedaan tingkat kecepatan kematangan anak akibat kondisi kehidupan sosial-budaya masyarakat.



Anak usia 8 dan 9 tahun: (i) pemfungsian tahap berpikir op­erasional konkret (Piaget), berpikir kini lebih fleksibel dan hati-hati; (ii) pengalaman pada tahap kepandaian versus perasaan rendah diri (Erickson); (iii) penerimaan konsep benar berdasarkan aturan; (iv) adanya perhatian dan penghormatan dari kelompok kini lebih penting; (v) mulai melihat dengan sudut pandang orang lain dan sema­kin berkurangnya sifat egosentris; (vi) mengembangkan konsep dan hubungan spasial; (vii) menghargai petualangan imaginatif; (viii) menunjuk­kan minat dan keterampilan yang berbeda dengan kelompoknya; (ix) mempunyai ketertarikan pada hobi dan koleksi yang bervariasi; (x) menunjukkan peningkatan kemampuan mengutarakan ide ke dalam kata-kata; (xi) mem­bentuk persahabatan yang khusus. Anak usia 1012 tahun: (i) pemfungsian tahap operasional konkret (Piaget), dapat melihat hubungan yang lebih abstrak; (ii) pengalaman pada tahap kepandaian versus perasaan rendah diri (Erickson); (iii) penerimaan ma­salah benar berdasarkan kefairan; (iv) memiliki ketertarikan yang kuat dalam aktivitas sosial, (v) meningkatnya minat pada kelompok, mencari kekariban dalam kelompok; (vi) mulai mengadopsi model kepada orang lain daripada ke orang tua; (vii) menunjukkan minatnya pada aktivitas khusus; (viii) men­cari persetujuan dan ingin mengesankan; (ix) menunjukkan kemampuan dan kemauan untuk melihat sudut pandang orang lain; (x) pencarian nilai-nilai; (xi) menunjukkan adanya perbedaan di antara individu; (xii) mempunyai citarasa keadilan dan peduli kepada orang lain; (xiii) pemahaman dan penerimaan terhadap adanya aturan berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Anak usia 13 dan adolesen: (i) pemfungsian tahap operasional formal (Piaget), kemampuan untuk memprediksi, menginferensi, berhipotesis tanpa referensi; (ii) pengalaman tahap identitas versus kebingungan (Erickson); (iii) mungkin beralih ke tahap otonomi moral (tahap 5 dan 6 menurut Kohlberg); (iv) menunjukkan kebebasannya dari keluarga sebagai langkah menuju ke awal kedewasaan; (v) mengidentifikasikan diri dengan dewasa yang dikagumi; (vi) menunjukkan ketertarikannya pada isu-isu filosofis, etis, dan religius; (vii) pencarian sesuatu yang idealistis.