Pada mulanya anak tidak dapat membedakan bunyi-suara
manusia dengan bunyi-bunyian yang lain, tetapi lama-kelamaan mampu
membedakannya. Kenyataan bahwa seorang bayi berada dalam kondisi yang amat
rentan dan tidak berdaya, bahkan terhadap kelangsungan hidupnya sendiri, tidak
dapat berbuata apa pun tanpa bantuan orang lain, tetapi dapat belajar berbahasa
sungguh merupakan sebuah keajaiban. Apalagi dalam waktu yang relatif singkat,
yaitu hanya beberapa tahun, anak sudah mampu berbahasa, mampu ‘menguasai’
bahasanya sendiri, suatu hal yang hampir mustahil terjadi pada diri orang
dewasa. Oleh karena itu, orang kemudian mempertanyakan apa sebenarnya yang
terjadi dalam diri anak yang dapat diibaratkan sebagai sebuah kotak hitam ‘black
box’ itu, yaitu sesuatu yang menunjukkan adanya unsur ketidakter-pahaman
tentang apa yang terjadi. Maka, disusunlah teori(-teori) akuisisi bahasa yang
berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana itu terjadi di
dalam diri anak itu dalam proses pemerolehan bahasa tersebut.
Noam Chomsky, yang seorang linguis ‘penemu’ teori
tatabahasa generatif transformasi itu, berkeyakinan bahwa dalam diri anak terdapat
semacam “alat” yang dipergunakan sebagai sarana memperoleh bahasa. Sejak
dilahirkan anak sudah memiliki pembawaan, bakat (innate capacity), yang
berupa Language Acquisition Devices (LAD, alat pemerolehan bahasa) untuk
memperoleh bahasa secara alami. Adanya innate capacity atau LAD tersebut
menurut Chomsky dapat dipergunakan untuk menerangkan apa yang terjadi di dalam
diri anak yang secara ajaib dapat belajar bahasa secara cepat. Namun demikian,
semua orang sependapat bahwa dalam proses akuisisi bahasa anak juga melewati
tahap-tahap tertentu untuk “belajar” bahasa karena kemampuan sensori-motor yang
masih terbatas. Pola bahasa, kata-kata, pertama anak yang dapat disuarakan
adalah berupa bentuk-bentuk perulangan silabik vokal dan konsonan untuk
akhirnya menjadi kata-kata tunggal. Misalnya, ucapan “ma-ma, ba-ba, pa-pa” yang
pada umumnya berakhir dengan vokal dan kata-kata itu familiar yang sering
didengarnya baik dari orang maupun benda atau binatang. Setelah berumur 18 bulan
atau 2 tahun anak mulai mampu mempergunakan dua-tiga kata sebagai “kalimat”
untuk mengekspresikan maksud dan tindakan, seperti “mama maem, dada papa, dada
mama”. Dalam usia tiga tahun anak dapat memahami bahasa secara luar biasa.
Proses internalisasi input struktur yang semakin kompleks dan kosakata yang
semakin luas itu terus berlangsung sampai anak masuk sekolah, dan pada saat ini
anak sudah ‘menguasai” bahasanya. Di sekolah anak tidak hanya belajar bagaimana
mengatakan, tetapi juga belajar apa yang tidak boleh dikatakan dalam kaitannya
dengan fungsi sosial bahasa (Brown, 2000:21). Maka, sekali lagi, bagaimana kita
akan menjelaskan “perjalanan fantastik” ’fantastic journey’ anak dalam
proses pemerolehan bahasa yang begitu cepat itu. Hal itulah yang memicu
lahirnya teori-teori akuisisi bahasa pada anak. Dalam proses akuisisi bahasa
secara alami, anak memperoleh bahasa dengan menirukan, melihat dan menirukan
orang berbicara, namun sebenarnya anak tidak semata-mata sebagai peniru
belaka. Ada bukti-bukti yang kuat bahwa anak jauh lebih banyak memahami bahasa
daripada yang dapat diproduksi, dan hal itu sungguh di luar dugaan. (Hal ini
pun juga terjadi dan berimbas pada dewasa: kita lebih banyak membaca daripada
menulis). Dalam usia dua tahun anak sudah mampu “menemukan” struktur bahasa dan
hal itu berlangsung terus-menerus dalam usia selanjutnya. Anak tampaknya
mengkonstruksikan bahasa sistemnya sendiri untuk membuat diri paham. Di dalam
diri anak terdapat hubungan yang erat antara perkembangan pemahaman secara
kognitif dan kemampuan berbahasa sebagaimana anak mempergunakan bahasa sebagai
sarana untuk mengorganisasikan dan menerangkan dunia.
Apa implikasi pemahaman terhadap proses pemerolehan bahasa
anak tersebut bagi pemilihan buku bacaan sastra? Satu hal yang pasti adalah
bahwa pemilihan bacaan itu mesti didasarkan pada materi yang dapat dipahami
anak, yang dituliskan dengan bahasa yang sederhana sehingga dapat dibaca dan
dipahami anak, dengan mempertimbangkan keserdahanaan (atau kompleksitas)
kosakata dan struktur namun, sekaligus juga berfungsi meningkatkan kekayaan
bahasa dan kemampuan berbahasa anak. Dalam rangka pemahaman dan atau apresiasi
suatu bacaan, ada beberapa hal yang terlibatkan, yaitu aspek intelektual,
emosional, kemampuan berbahasa anak, dan struktur organisasi isi bacaan.
Keempat hal tersebut harus mendapat perhatian dalam rangka seleksi bacaan anak.
Oleh karena itu, dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu untuk menilai
suatu bacaan yang akan dipilih. Misalnya: Apakah secara intelektual anak dapat
memahami materi bacaan cerita itu?; Apakah secara emosional anak sudah siap
untuk menerima isi bacaan itu?; Apakah secara kebahasaan anak sudah mampu
memahami isi bacaan itu?; Apakah struktur organisasi isi cerita itu sudah dapat
dijangkau oleh anak?; dan lain-lain yang relevan. Sebagai bahan pertimbangan di
bawah ini dikemukakan beberapa karakteristik anak pada kelompok usia tertentu
sebagai salah satu kriteria pemilihan buku bacaan sastra anak (Brady,
1991:35–37). Namun demikian, kehati-hatian dan sikap kritis kita harus tetap
diutamakan karena harus diakui adanya perbedaan tingkat kecepatan kematangan
anak akibat kondisi kehidupan sosial-budaya masyarakat.